Senin, 07 Desember 2009

PESAN MORAL KASUS CENTURY


“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)

Isu kasus Century semakin memanas dan media tak ketinggalan untuk selalu menyorotnya. Kali ini isu tersebut telah memasuki babak baru, yaitu hak angket kasus century. Melalui sidang paripurna, DPR mensahkan usul hak angket century menjadi hak dewan. Banyak permasalahan yang disorot pada isu ini. Pertama, dasar pengambilan kebijakan penyaluran bail out oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Kedua, besaran bail out sampai 6,7 triliun menjadi sorotan karena dikaitkan-kaitkan dana publik (APBN) termasuk di sana. Ketiga, tuntutan agar Boediono yang saat itu menjabat sebagai Gubernur BI dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang saat itu juga menjabat menjadi ketua KSSK mundur/ non aktif dari jabatannya. keempat, Aliran dana bail out tersebut, apakah mengarah kepada pihak-pihak tertentu. Namun untuk masalah ini, kita harus menunggu hasil akhir audit BPK.

Lalu apa yang mendasari pemberian bail out itu? beberapa pengamat menduga ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan ini. Dugaan intervensi melalui telepon pun telah dibantah oleh Sekretaris KSSK Raden Pardede. Pengamat juga menilai bahwa krisis yang terjadi pada Bank Century tidak akan berdampak sistemik karena persentase nilai asetnya sangat kecil jika dibanding aset perbankan nasional yakni 0,03 % dari total aset perbankan nasional dan market sharenya 0,1 persen jumlah nasabah perbankan di Indonesia.

Namun, bagaimanakah keadaan yang sesungguhnya. Memang dalam keadaan biasa, keadaan bank Century tersebut tidak akan berdampak sistemik. Kenyataan pada saat itu (November-Desember 2008) adalah masa-masa paling kritis bagi Indonesia di tengah terjangan dampak krisis keuangan global. Saat itu situasi sangat tidak menentu. Meski pemerintah mengumumkan bahwa fundamental makro ekonomi cukup tangguh, ternyata indikator sektor keuangan justru rapuh. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka indeks stabilitas keuangan atau Financial Stability Index (FSI) menjadi 2,43 pada November 2008 yang melampaui batas maksimum indeks yaitu 2.

Pada saat itu pula ekses likuiditas mencapai titik terendah akibat penarikan secondary reserves oleh perbankan untuk mendanai kredit. Ini terlihat jelas dari penurunan simpanan perbankan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Secondary reserves terpaksa dijadikan pendanaan alternatif bagi kredit perbankan. Semua ini disebabkan oleh kesulitan bank dalam menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) akibat dampak krisis keuangan global.

Bahkan pada saat itu, Rasio alat likuid terhadap Non Core Deposits (NCD) atau rasio likuiditas mengalami tekanan serupa hingga mencapai angka terendah yakni 84,9 % (di bawah 100%). Hal ini menunjukkan bank umum kurang memiliki kemampuan dalam mengantisipasi penarikan dana dari masyarakat. Indikator ini menunjukkan ketahanan likuiditas perbankan meragukan. Loan Deposits Ratio (LDR) menunjukkan angka 77,2% pada Desember 2008 karena pertumbuhan DPK lebih rendah daripada pertumbuhan kredit.
Proses penyelamatan Bank Century ini bertujuan untuk mempertahankan kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan sehingga mencegah rush atau bank run. Untuk mengetahui dampak merambat (contagion effect) kegagalan suatu bank, BI telah melakukan interbank stress test kepada beberapa bank. Hasilnya menunjukkan bahwa jika 11 bank pemicu gagal (single failure) terdapat 14 bank yang berpotensi permodalannya tertekan. Sementara dampak lanjutannya (second round effects) berpotensi membuat 24 bank lainnya juga mengalami tekanan permodalan (multiple failure). Tentu kita tidak ingin peristiwa ini terulang seperti pada tahun 1999.

Kepanikan di pasar modal juga menunjukkan potensi krisis. Posisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Januari 2008 kita menunjukkan 2.830, pada November 2008 merosot menjadi 1.555. Jadi, penurunan indeks lebih dari 50%.Keadaan ini mencerminkan kepanikan investor portofolio asing yang menarik dananya dalam skala besar untuk mencukupi kebutuhan likuiditas di negaranya. Bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) harus melakukan suspend perdagangan saham pada 8-10 Oktober 2008. Tindakan ini untuk menghindari kepentingan investor dari kerugian yang lebih dalam lagi.

Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10 persen sebelum krisis menjadi 17,1 persen pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1 persen kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp 1,4 T di APBN). Rupiah mengalami depresiasi hingga 30%, melewati batas psikologisnya di angka Rp 12,000. Penarikan dana oleh asing yang diikuti penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar menguras cadangan devisa Indonesia hingga US 7,81 miliar.

Selanjutnya, bagaimana mengenai dana sebesar 6,7 triliun? Apakah benar dari APBN? Lembaga Penjamin Simpanan selaku pemegang saham Bank Mutiara (sebelumnya bernama Bank Century) menegaskan dana talangan atau penyertaan modal sementara (PMS) sebesar 6,7 triliun tersebut sama sekali tidak menyedot dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, sumber dana talangan tersebut berasal dari premi bank peserta pinjaminan. Oleh sebab itu, pemberian dana itu tidak perlu meminta persetujuan DPR.

Penyertaan modal pemerintah sebagai modal awal LPS adalah Rp4 triliun dan premi yang dibayarkan bank anggota sejak Sepember 2005 mencapai Rp12,5 triliun dan total aset Rp18 triliun. Jadi, meskipun dikurangi Rp6,7 triliun, uang pemerintah masih utuh. Sekali lagi anggapan dana bail out berasal dari APBN tidak berdasar. LPS merupakan bagian dari Kekayaan Negara dan bukan bagian dari APBN. Bail out ini menjadikan LPS sebagai pemilik 99,996 persen Bank Mutiara. Jika nanti ada investor yang mau membeli bank tersebut, maka akan dilepas. Jika tidak ada yang mau, maka akan dilelang.

Sementara ini menurut LPS, sudah ada beberapa investor dari asia yang berminat mau membeli bank yang dulunya milik robert tantular ini. Tapi, LPS masih bersikukuh untuk merahasiakan identitas mereka. Lagipula mereka belum memberikan ketertarikannya (letter of intent) secara tertulis dan resmi. Maklum proses pembelian suatu usaha memang harus didahului oleh proses uji tuntas (due diligence). Investor ini berbentuk bank dan fund manager.

Kisah kasus Bank Century menjadi panas ketika sudah masuk ke ranah politik. Tapi pertanyaannya, mengapa politisi baru mempermasalahkannya sekarang? Sebenarnya citra Bank Century sudah membaik sejak namanya berubah menjadi Bank Mutiara. Jika ada pihak-pihak terkait masalah hukum, semoga tidak membuat deposan lari. Sekarang ini Bank Mutiara telah menunjukkan kinerja yang positif dengan berhasil mencatat lonjakan laba bersih sebesar 3.252 persen. Bahkan, bank ini mencetak laba bersih sebesar Rp 231 miliar pada Oktober 2009. Jadi prospek Bank ini menjanjikan dan tidak ada alasan bahwa PMS dari LPS tidak akan kembali, malah bisa jadi untung.

Kasus Bank Century memang harus segera diselesaikan. Tapi tuntutan kepada beberapa pejabat seperti Boediono dan Sri Mulyani untuk mundur dinilai berlebihan, apalagi alasannya hanya untuk mempermudah pemeriksaan. Tidak bisa begitu saja mereka dinonaktifkan dari jabatannya tanpa bukti yang jelas mengingat jabatan yang mereka emban begitu strategis dan dapat menimbulkan gejolak. Apalagi mereka berasal dari kalangan profesional akademis dan bukan politisi yang memiliki peluang besar terjerumus ke dalam konflik kepentingan. Jadi perlu diperhitungkan lebih jauh antara manfaat dan madharatnya.

Proses pengambilan keputusan, yang didasarkan oleh kewenangan diskresi yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan, harus dipisahkan dengan kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Biarkan mereka diberi kesempatan untuk menjelaskan semuanya di DPR. Toh, Sri Mulyani sendiri juga mendukung hak angket dan telah menyerahkan data yang akurat dan valid kepada BPK.

Sepak Terjang Sri Mulyani

Sri Mulyani mendapat sorotan dalam Kasus Century karena dirinya pada saat itu menjabat sebagai ketua KSSK yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal sistemik. Sri Mulyani memiliki track record mengesankan dan integritasnya tidak lagi diragukan baik dalam kancah nasional maupun internasional. sejak dirinya diangkat menjadi Menteri Keuangan pada Desember 2005, Sri Mulyani telah menorehkan banyak prestasi.
Sri Mulyani pernah dinobatkan sebagai menteri Keuangan Terbaik Asia 2006 oleh Emerging Markets pada 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Ia terpilih sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi majalah forbes tahun 2008 dan wanita paling berpengaruh ke-2 di indonesia versi majalah Globe Asia bulan oktober 2007. Belum pernah ada menteri keuangan indonesia yang mendapatkannya dan dia merupakan tokoh wanita Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan seprestisius itu.

Kita semua tidak akan menyangkal bahwa di tengah ketidakpercayaan masyarakat akan pelayanan publik dan kinerja aparat pemerintah, menteri keuangan yang lahir di Bandar Lampung ini menjadi pelopor reformasi birokrasi. Selain itu sesuai core business Departemen Keuangan dalam mengelola keuangan negara, dia berhasil melanjutkan reformasi di bidang keuangan negara untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka, dan bertanggungjawab. Baik reformasi keuangan negara dan reformasi birokrasi merupakan hal yang penting dan saling mendukung untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Sejak masa kepemimpinan Sri Mulyani, Departemen Keuangan menjadi leader dalam hampir di segala aspek kepemerintahan yakni pelayanan publik, administrasi, penataan organisasi, dan pengelolaan keuangan negara. Tingkat kepuasan masyarakat pun meningkat. Hal ini dibuktikan dengan survei oleh Universitas indonesia pada 2008. Hasil survey menunjukkan bahwa Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Depkeu selama tahun 2007 mencapai 63,6 persen, cukup puas 29,4 persen, tidak puas 6,9 persen.

Departemen Keuangan di masa kepemimpinannya juga tidak mau ketinggalan dalam memberikan kontribusi pemberantasan korupsi. Indeks persepsi korupsi indonesia (IPK) 2009 meningkat tajam yakni dari 2,6 menjadi 2,8. Dengan skor tersebut peringkat indonesia naik secara signifikan. Sekarang posisi indonesia di peringkat 111 (dari 180 negara),berarti naik 15 posisi dari tahun lalu. Faktor peningkatan IPK ini salah satunya adalah reformasi birokrasi di tubuh Departemen Keuangan khususnya di bidang perpajakan.

Begitu naifnya jika bangsa ini membiarkan tokoh yang membawa perbaikan dengan karya nyata mengalami pembunuhan karakter secara pelan dan meyakinkan oleh orang-orang yang selama ini dirugikan oleh perjuangannya selama ini. Begitukah sikap publik kepada orang yang sangat diakui integritasnya, kapasitas,maupun kapabilitasnya. Kita harus jujur dalam menyuarakan pesan bahwa masih banyak yang menaruh kepercayaan dan harapan kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar